Kamis, 08 November 2012

SUMBER BELAJAR BY DESIGN & BY UTILIZATION



A.       Pengertian Sumber Belajar By Design
Pada dasarnya sumber belajar adalah semua potensi yang dapat dimanfaatkan oleh siapapun untuk mengembangkan kemampuan seseorang, atau megembangkan proses belajar seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dapat diketahui bahwa sumber belajar merupakan salah satu komponen system instruksional yang dapat berupa: pesan, orang, bahan, peralatan dan latar (lingkungan).
Sumber belajar yang sengaja direncanakan (by design) yaitu semua sumber belajar yang secara khusus telah dikembangkan sebagai komponen system instruksional untuk memberikan fasilitas belajar yang terarah dan bersifat formal. Dan juga sumber belajar by design merupakan sumber belajar yang dibuat secara sengaja yang dibuat untuk keperluan belajar. Contohnya adalah buku pelajaran, modul,dll.

B.            Pengertian Sumber Belajar By Utilization
Sumber belajar karena dimanfaatkan (by utilization) yaitu sumber belajar yang tidak secara khusus didesain untuk keperluan pembelajaran namun dapat ditemukan, diaplikasikan, dan digunakan untuk keperluan belajar. Contohnya adalah kebun binatang, tokoh agama, tokoh masyarakat, surat kabar, museum, film, tenaga ahli,pejabat pemerintah, dll.
Mengingat begitu luasnya sumber belajar, maka perencanaan yang matang mesti dilakukan. Beberapa sumber belajar yang dapat dipertimbangkan untuk dimanfaatkan adalah:
1.      Perpustakaan
           Selama ini perpustakaan disekolah hanya sebagai pelengkap. Padahal keberadaannya sangat penting sebagai salah satu sumber belajar. Perpustakaan dapat digunakan sebagai sarana peningkatan wawasan dan pengetahuan, meningkatkan minat dan kebiasaan membaca siswa, sarana pencarian pengetahuan/informasi dan perpustakaan pun dapat digunakan sebagai tempat diskusi, ajang bertukar pikiran antara kelompok belajar. Oleh karena itu sebuah perpustakaan  harus memnuhi persyaratan minimal yang meliputi: perpustakaan dikelola secara baik, tersedianya literature (sumber bacaan) baik berupa buku pelajaran, berbagai bacaan, majalah, kamus dll, memiliki ruang atau tempat yang memadai dan nyaman sehingga siswa betah berlama-lama diperpustakaan, kemudahan siswa untuk memanfaatkan segala fasilitas yang ada di perpustakaan untuk menunjang proses pembelajaran.
2.      Media belajar/Alat peraga
           Media belajar yang dimaksud adalah berbagai alat, bahan yang bias digunakan untuk membantu dalam penyampaian materi pembelajaran. Media tersebut baik dibuat sendiri maupun karya orang lain. Berbagai media yang ada perlu digunakan secara optimal dan tentu saja harus dipelihara dan dijaga kelayakannya. Media yang telah rusak segera diperbaiki bahkan diganti. Media yang belum ada dan sekiranya berguna perlu dipikirkan untuk dimiliki, dengan cara membeli atau mengajukan bantuan.
     Media yang perlu dipertimbangkan untuk dimiliki terutama media elektronik (produk teknologi komunikasi). Biasanya dengan menggunakan media seperti ini pembelajaran akan lebih hidup dan siswa pun lebih antusias mengikutinya.
3.      Majalah dinding
      Sumber belajar ini layak dipertimbangkan terutama bagi pembelajaran bahasa Indonesia/inggris. Madding dapat menjadi sarana penyebar informasi atau pengetahuan dari hasil karya siswa baik berupa karangan, puisi, cerpen dll. Disamping itu madding bisa menjadi motivasi bagi siswa untuk senang membaca, terdorong berkarya sekaligus bias saling belajar atau menilai antar karya satu dengan yang lainnya.
      Dalam pengelolaanya perlu bimbingan dan pembinaan dari guru terutama guru bahasa. Sedangkan dalam pelaksanaannya bias dibentuk sebuah pengurus madding ditiap kelas atau tingkat sekolah. Mereka bertanggung jawab untuk mengelola madding secara baik dan berkesinambungan.
      Disamping memanfaatkan sumber belajar yang ada, guru dituntut untuk mencari dan merencanakan sumber belajar lainnya baik hasil rancangan sendiri ataupun sumber yang sudah ada di sekeliling sekolah dan masyarakat.
Sumber belajar yang dapatdimanfaatkan dan berada di masyarakat misalnya:
Ø  Mengunjungi museum sesuai dengan materi (museum uang, museum sejarah atau museum hewan)
Ø  Study tour mengunjungi gedung geologi, lembaga pemasyarakatan atau lembaga pemerintahan
Ø  Mengunjungi tempat ibadah, pasar, mal (tempat belanja)
Ø  Mendatangkan tokoh untuk diskusi (polisi dan dokter membahas narkoba, anggota DPR membahas pemerintahan daerah dll)

C.                Macam-macam Sumber Belajar
Ada beberapa sumber belajar diantaranya yaitu : 

  1. Pesan: informasi yang akan disampaikan dalam bentuk ide, fakta, makna dan data.
  2. Manusia: orang-orang yang bertindak sebagai penyimpan, pengolah dan penyalur pesan. 
  3. Bahan media software: perangkat lunak yang biasanya berisi pesan.
  4. Peralatan hardware: perangkat keras yang digunakan untuk menyampaikan pesan yang terdapat dalam bahan.
  5. Teknik: prosedur atau langkah-langkah tertentu dalam menggunkan bahan, peralatan, lingkungan, dan orang untuk menyampaikan pesan.
  6. Latar: lingkungan dimana pesan itu diterima oleh pembelajar.

D.                Tujuan dan Fungsi Sumber Belajar
Penggunaan sumber belajar bertujuan untuk:
1.      Menambah wawasan pengetahuan siswa terhadap materi pelajaran yang disampaikan guru.
2.      Mencegah verbalistis bagi siswa.
3.      Mengajak siswa ke dunia nyata.
4.      Mengembangkan proses belajar mengajar yang menarik
5.      Mengembangkan berpikir divergent pada siswa.
     Pemanfaatan sumber belajar sudah tentu akan menambah wawasan pengetahuan siswa. Melalui sumber belajar, pemahaman siswa mengenai suatu materi pelajaran akan bertambah. Hal tersebut sekaligus akan mencegah verbalistis bagi siswa. Dengan pemanfaatan sumber belajar maka siswa tidak hanya mengetahui materi pelajaran dalam bentuk kata-kata saja, namun secara komprehensif akan mengetahui substansi dari yang dipelajari.
     Sumber belajar juga bertujuan mengajak siswa ke dunia nyata. Dalam pengertian, siswa tidak hanya berada dalam bayangan-bayangan suatu materi akan tetapi melalui sumber belajar siswa langsung dihadapkan ke dunia nyata, yaitu suatu situasi yang berhubungan  langsung dengan materi pelajaran.
     Pemanfaatan sumber belajar juga bertujuan mengembangkan proses belajar mengajar yang menarik. Dalam pengertian, melalui pemanfaatn sumber belajaar sudah tentu proses belajar mengajar lebih aktif dan interaktif. Hal menarik yang dapat dijumpai ketika guru memanfaatkan sumber belajar adalah adanya interaksi banyak arah, yakni antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan siswa dan guru.
     Pengalaman dan pengetahuan siswa akan materi pelajaran yang dipelajari merupakan hal yang sangat penting. Oleh karena itu, keberadaan sumber belajar berfungsi untuk mengembangkan pengalaman dan pengetahuan siswa. Melalui pemanfaatan sumber belajar, maka pengalaman dan pengetahuan siswa akan lebih berkembang.
     Adapun fungsi sumber belajar sebagai berikut:
1.      Sarana mengembangkan keterampilan memproses perolehan
2.      Mengeratkan hubungan antara siswa dengan lingkungan
3.      Mengembangkan pengalaman dan pengetahuan siswa
4.      Membuat proses belajar mengajar lebih bermakna
Keterampilan memproses perolehan mengacu pada susuatu yang dapat diperoleh ketika guru memanfaatkan sumber belajar. Oleh karena itu, fungsi sumber belajar sebagai sarana mengembangkan keterampilan memproseskan perolehan berhubungan dengan aktifitas guru dalam memanfaatkan sumber belajar. Dalam pengertian, ketika guru memanfaatkan sumber belajar sudah tentu harus ada sesuatu yang dapat diperoleh oleh siswa.
Fungsi sumber belajar lainnya adalah mengeratkan hubungan siswa dengan lingkungan. Hal tersebut berhubungan dengan pemanfaatan sumber belajar yang dilakukan guru, semakin guru memanfaatkan sumber belajar yang berasal dari lingkungan sekitar maka siswa semakin dekat dengan lingkungan.
Fungsi sumber belajar yang membuat proses belajar mengajar lebih bermakna, berhubungan dengan aktivitas guru dalam memanfaatkan sumber belajar. Melalui pemanfaatan sumber belajar yang tepat, maka guru dapat membuat proses belajar mengajar lebih bermakna. Artinya guru mampu mengelola proses belajar mengajar yanga berpusat pada siswa, bukan proses belajar mengajar yang berpusat pada guru.

Kamis, 26 Juli 2012

Berjalan Dengan Bola

A.    Nama Permainan
Didalam permainan outbond yang kelompok kami buat, nama permainannya adalah “Berjalan Dengan Bola”.

B.    Latar Belakang Permainan
Kami merancang permainan ini karena didalam sebuah pembelajaran dilembaga pendidikan saat ini jarang sekali seorang guru atau pendidik menerapkan suatu sistem belajar sambil bermain diluar kelas, yang ada pembelajaran yang hanya mengajar dengan teori dan ceramah saja, jadi selama proses pembelajaran berlangsung hanya keseriusan dan ketakutan yang dirasakan siswa pada saat guru mengajar, sehingga didalam proses pembelajaran yang berlangsung membuat siswa menjadi jenuh dan membosankan maka dari itu kelompok kami merancang sebuah permainan pembelajaran yang dapat bermanfaat bagi lembaga pendidikan.
Didalam permainan outbond yang kami rancang ini membutuhkan 8 (delapan) orang untuk memainkannya. Dimana nantinya pada saat permainan ini dilakukan atau dimainkan 8 (delapan) orang tersebut menjadi sebagai penarik tali secara bersama – sama dengan kekompakan yang mereka miliki, mereka saling membantu antara teman satu dengan yang lainnya. Untuk dapat menjaga keseimbangan bambu yang diikat ditengah – tengah tali yang mereka pegang, dimana diatas bambu diberi mangkuk yang berisi bola.
Dari penjelasan diatas maka kelompok kami mencoba membuat suatu permainan outbond yang mana nantinya dapat mengasah daya pikir, kekompakan antara siswa satu dengan siswa yang lainnya maupun antara siswa dengan guru. Permainan outbond yang berjudul “Berjalan Dengan Bola” semoga nantinya dapat menjadi suatu permainan yang berguna bagi siswa, guru dan kita semua.

C.    Tujuan Permainan
Berdasarkan latar belakang diatas, maka tujuan yang ingin dicapai antara lain yaitu :

1.    Karena kurang kekompakan antara siswa satu dengan yang lainnya, maka dibuatlah suatu permainan outbond ini. Dengan permainan ini maka kekompakan itu akan terbentuk dan tumbuh atau tumbuh pada diri setiap siswa.
2.    Dapat mengatasi kebosanan dan kejenuhan siswa pada saat proses pembelajaran. Dengan permainan ini siswa dapat bermain sambil belajar.
3.    Dapat dijadikan sebagai alat untuk mengasah daya pikir siswa.
4.    Agar guru dapat menerapkan sistem pembelajaran yang bervariasi dan menarik dalam pembelajaran.

D.    Hasil Yang Diharapkan
Berdasarkan tujuan diatas, maka hasil yang diharapkan antara lain :
1.    Bagi peserta didik diharapkan dapat membentuk kekompakan antara siswa satu dengan yang lainnya.
2.    Bagi peserta didik diharapkan dapat mengatasi kebosanan dan kejenuhan pada saat proses pembelajaran.
3.    Bagi siswa diharapkan dapat menjadi alat untuk mengasah daya pikir siswa.
4.    Bagi seorang guru diharapkan dapat menjadi suatu referensi strategi pada saat menerapkaan pembelajaran.

E.    Peralatan Yang Dibutuhkan
Berangkat dari apa saja alat yang dibutuhkan, kelompok kami mempersiapkan alat dan bahan sebagai berikut :
1.    1 Buah Bola Plastik.
2.    Tali rafia.

F.    Cara Melakukan Permainan
Adapun cara melakukan permainan ini adalah sebagai berikut :
    Peserta dibagi menjadi beberapa kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 5-10 orang.
    Masing-masing kelompok berada dalam jalur yang telah disediakan dan diberi jarak 4-8 meter antar kelompok.
    Peserta harus membawa bola  yang telah diletakkan diantara kedua kakinya.
    Peserta pertama harus memberikan bola tersebut kepada peserta kedua secara terus menerus sampai peserta terakhir. Kemudian, peserta terakhri berjalan sampai akhir garis finish sambil membawa bola yang dibawa menggunakan kaki

G.    Peraturan Permainan
    Bola hanya boleh dibawa dengan kaki, tidak boleh dipegang dengan tangan
    Pada saat memindahkan bola kepada peserta lain, peserta juga hanya menggunkan kaki
    Bola tidak boleh terlepas dari kaki peserta.Apabila bola terlepas, maka peserta tersebut harus mengulang dari awal.

H.    Waktu Yang Dibutuhkan
Didalam permainan outbond yang kelompok kami rancang, waktu yang dipergunakan adalah maksimal 15 menit.

I.    Lokasi
Sehubungan dengan permainan ini, maka lokasi yang kami pilih untuk menerapkan permainan outbond ini dapat dilakukan dimana saja (ditempat yang datar)



J.    Rincian Biaya
Berdasarkan peralatan yang dibutuhkan dalam permainan outbond ini, maka rincian biaya yang kami keluarkan adalah sebagai berikut :
                          1. Bola Plastik    Rp  7.500,-
                          2. Tali Rafia        Rp  2.500,-
                             Total               Rp10.000,-

Senin, 09 Juli 2012

STRATEGI PEMBELAJARAN AFEKTIF




     A.    Pendahuluan
            Dalam undang – undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 dijelaskan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Ada orang yang beranggapan bahwa sikap bukan untuk diajarkan, seperti halnya matematika, fisika, ilmu sosial, dan lain sebagainya, akan tetapi untuk dibentuk. Oleh karena itu, yang lebih tepat untuk bidang afektif bukanlah istilah pengajaran, namun pendidikan. Namun,  oleh karena strategi pembelajaran yang dibicarakan dalam naskah ini diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang bukan hanya dimensi kognitif tetapi juga dimensi yang lainnya, yaitu sikap dan keterampilan, melalui proses pembelajaran yang menekankan kepada aktivitas siswa sebagai subjek belajar, maka selanjutnya penulis menggunakan istilah strategi pembelajaran afektif, walaupun dalam bahasan selanjutnya kedua istilah itu akan digunakan secara bergantian.
Strategi pembelajaran afektif memang beda dengan strategi pembelajaran kognitif dan keterampilan. Afektif berhubungan dengan nilai (value), yang sulit diukur, oleh karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam. Dalam batasan tertentu memang afeksi dapat muncul dalam kejadian behavioral, akan tetapi penilaiannya untuk sampai pada kesimpulan yang bisa dipertanggung jawabkan membutuhkan ketelitian dan observasi yang terus menerus, dan hal ini tidaklah mudah untuk dilakukan, apalagi menilai perubahan sikap sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan guru disekolah. Kita tak bisa menyimpulkan bahwa sikap anak itu baik, misalnya dilihat dari kebiasaan berbahasa atau sopan santun yang bersangkutan, sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan guru. Mungkin sikap itu terbentuk oleh kebiasaan dalam keluarga dan lingkungan sekitar.

    B.     Hakikat Pendidikan Nilai dan Sikap
Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya tersembunyi, tidak berada didalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, indah dan tidak indah, layak dan tidak layak, adil dan tidak adil, dan lain sebagainya. Pandangan seseorang tentang semua itu tidak bisa diraba, kita hanya mungkin dapat mengetahuinya dari perilaku yang bersangkutan. Oleh karena itu lah nilai pada dasarnya standar perilaku, ukuran yang menentukan atau kriteria seseorang tentang baik dan tidak baik, indah dan tidak indah, layak dan tidak layak dan lain sebagainya, sehingga standar itu yang akan mewarnai perilaku seseorang. Dengan demikian, pendidikan nilai pada dasarnya proses penanaman nilai kepada peserta didik yang diharapkan oleh karenanya siswa dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak bertentangan dengan norma – norma yang berlaku.
Douglas Graham (Gulo, 2002) melihat empat faktor yang merupakan kepatuhan seseorang terhadap nilai tertentu, yaitu :
a.       Normativist.
Biasanya kepatuhan kepada norma – norma hukum. Selanjutnya dikatakan bahwa kepatuhan ini terdapat dalam tiga bentuk, yaitu : (1) kepatuhan kepada nilai atau norma itu sendiri, (2) kepatuhan kepada proses tanpa memperdulikan normanya sendiri, (3) kepatuhan pada hasilnya atau tujuan yang diharapkan dari peraturan itu.
b.      Integralist.
Yaitu kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dengan pertimbangan – pertimbangan yang rasional.
c.       Fenomenalist.
Yaitu kepatuhan berdasarkan kepada suara hati atau sekadar basa basi.
d.      Hedonist.
Yaitu kepatuhan kepada diri sendiri.
Selanjutnya dalam sumber yang sama  dijelaskan, dari keempat faktor ini terdapat lima tipe kepatuhan, yaitu :
a.       Otoritarian.
Suatu kepatuhan tanpa reserve atau kepatuhan yang ikut – ikutan.
b.      Conformist.
Kepatuhan tipe ini mempunyai tiga bentuk, yaitu : (1) conformist directed, (2) conformist hedonist, (3) conformist integral.
c.       Compulsive deviant.
Yaitu kepatuhan yang tidak konsisten.
d.      Hedonik psikopatik.
Yaitu kepatuhan kepada kekayaan tanpa memperhitungkan kepentingan orang lain.
e.       Supramoralist.
Yaitu kepatuhan karena keyakinan yang tinggi terhadap nilai – nilai moral.
Dalam masyarakat yang cepat berubah seperti dewasa ini, nilai bagi anak merupakan hal yang sangat penting, karena pada era global dewasa ini, anak akan dihadapkan pada banyak pilihan yang mungkin akan dianggap baik.  Komitmen seseorang terhadap nilai tertentu terjadi melalui sikap, yakni kecenderungan seseorang terhadap suatu objek. Gulo (2005) menyimpulkan tentang nilai sebagai berikut :
a.       Nilai tidak bisa diajarkan tetapi diketahui dari penampilannya.
b.      Pengembangan domain efektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif dan psikomotorik.
c.       Masalah nilai adalah masalah emosional dan karena itu dapat berubah, berkembang sehingga bisa dibina.
d.      Perkembangan nilai atau moral tidak terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap tertentu.
Pernyataan kesenangan dan ketidaksenangan seseorang terhadap objek yang dihadapinya, sangat dipengaruhi oleh tingkat pemahaman (aspek kognitif) terhadap objek tersebut, oleh karena itu, tingkat penalaran (kognitif) terhadap suatu objek dan kemampuan untuk bertindak terhadapnya (psikomotorik) turut menentukan sikap seseorang terhadap objek yang bersangkutan.
       
C.    Proses Pembentukan Sikap
1.      Pola pembiasaan.
Dalam proses pembelajaran disekolah, baik secara disadari atau tidak, guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan. Misalnya, siswa yang setiap kali menerima perlakuan yang tidak mengenakkan dari guru, misalnya mengejek atau perilaku yang menyinggung persaan anak, maka lama kelamaan akan timbul rasa benci dari anak tersebut, dan perlahan – lahan anak tersebut akan mengalihkan sikap negatif itu buka hanya kepada gurunya itu sendiri, akan tetapi kepada mata pelajaran itu sendiri.
Belajar membentuk sikap melalui pembiasaan itu juga dilakukan oleh Skinner melalui teorinya operant conditioning. Peroses pembentukkan sikap melalui pembiasaan yang dilakukan Watson berbeda dengan proses pembiasaan sikap yang dilakukan Skinner. Pembentukan sikap yang dilakukan Skinner menekankan pada proses peneguhan respon anak. Setiap kali anak menunjukkan prestasi yang baik diberikan penguatan (reinforcement) dengan cara memberikan hadiah atau perilaku yang menyenangkan. Lama – kelamaan, anak berusaha meningkatkan  sikap positifnya.

2.      Modeling
Pembelajaran sikap seseorang dapat juga dilakukan melalui proses modeling, yaitu pembentukan sikap melalui  proses asimilasi atau proses mencontoh. Salah satu karakteristik anak didik yang sedang berkembang adalah keinginannya untuk melakukan peniruan (imitasi). Hal yang ditiru itu adalah perilaku – perilaku yang diperagakan atau didemonstrasikan oleh orang yang jadi idolanya. Prinsip peniruan ini yang dimaksud modeling. Modeling adalah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau orang yang dihormatinya.

        D.    Model Strategi Pembelajaran Sikap
1.      Model Konsiderasi
Model konsiderasi (the consideration model) dikembangkan oleh Mc. Paul, seorang humanis. Paul menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan pembentukan kognitif yang rasional. Pembelajaran moral siswa menurutnya adalah pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual.
Implementasi model konsideransi guru dapat mengikuti tahapan pembelajaran  seperti dibawah ini :
a.       Menghadapkan siswa pada suatu masalah yang mengandung konflik, yang sering terjadi dalam kehidupan sehari – hari.
b.      Menyuruh siswa untuk menganalisis situasi masalah dengan melihat bukan hanya dengan tampak, tapi juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut.
c.       Menyuruh siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan yang dihadapi.
d.      Mengajak siswa untuk menganalisis respon orang lain serta membuat kategori dari setiap respon yang diberikan siswa.
e.       Mendorong siswa untuk merumuskan akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan yang diusulkan siswa.
f.       Mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari sudut pandang (interdisipliner) untuk menambah wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
g.      Mendorong siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri.

2.      Model Pengembangan Kognitif.
Model pengembangan kognitif (the cognitive development model) dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. Model ini banyak diilhami oleh pemikiran John Dewey dan Jean Piaget yang berpendapat bahwa perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang berlangsung secara berangsung – angsur menurut urutan tertentu. Menurut Kohlberg, moral manusia itu berkembang melalui 3 tingkat, dan setiap tingkat terdiri dari 2 tahap, yaitu :
a.       Tingkat Prakonvensional.
Pada tingkat ini setiap individu memandang moral berdasarkan kepentingannya sendiri. Artinya, pertimbangan moral didasarkan pada pandangannya secara individual tanpa menghiraukan rumusan dan aturan yang dibuat oleh masyarakat. Pada tingkat prakonvesional ini terdiri atas dua tahap, yaitu : tahap pertama  adalah Orientasi Hukum dan Kepatuhan dan tahap kedua Orientasi Instrumental Relatif.

b.      Tingkat Konvensional
Pada tahap ini anak mendekati masalah didasarkan pada hubungan individu masyarkat. Kesadaran dalam diri anak mulai tumbuh bahwa perilaku itu harus sesuai dengan norma – norma dan aturan yang berlaku dimasyarakat. Pada tingkatan ini mempunyai 2 tahap, yaitu : keselarasan interpersonal serta tahap sistem sosial dan kata hati.

c.       Tingkat Postkonvensional
Pada tingkat ini perilaku bukan hanya didasarkan pada kepatuhan terhadap norma – norma masyarakat yang berlaku, akan tetapi didasarkan oleh adanya kesadaran sesuai dengan nilai – nilai yang dimilikinya secara individu. Pada tingkatan ini juga terdiri dari dua tahap, yaitu : tahap kontrak sosial dan tahap prinsip etis yang universal.

3.      Teknik Mengklarifikasi Nilai
Teknik mengklarifikasi nilai (value clarification technique) atau sering disingkat VCT dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari dan menemukan sesuatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi sesuatu persoalan melalui proses  menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa.
Kelemahan yang sering terjadi dalam proses pembelajaran nilai atau sikap adalah proses pembelajaran dilakukan secara langsung oleh guru, artinya guru menanamkan nilai – nilai yang dianggap baik tanpa memerhatikan nilai yang sudah tertanam dalam diri siswa. Akibatnya, sering terjadi benturan atau komplik dalam diri siswa karena ketidak cocokan antara nilai lama yang sudah terbentuk dengan nilai baru yang ditanamkan oleh guru. Siswa sering mengalami kesulitan dalam menyelaraskan nilai lama dan nilai baru. VCT sebagai suatu model dalam strategi pembelajaran moral VCT bertujuan :
a.       Untuk mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai.
b.      Membina kesadaran siswa tentang nilai – nilai yang dimilikinya baik tingkatannya maupun sifatnya (positif dan negatif ) untuk kemudian dibina kearah peningkatan dan pembetulannya.
c.       Untuk menanamkan nilai – nilai tertentu kepada siswa melalui cara yang rasional dan diterima siswa, sehingga pada akhirnya nilai tersebut akan menjadi milik siswa.
d.      Melatih siswa sebagaimana cara menilai, menerima, serta mengambil keputusan terhadap suatu persoalan dalam hubungannya dengan kehidupannya sehari – hari dengan masyarakat.
John Jarolimek (1974) menjelaskan langkah pembelajaran dengan VCT dalam 7 tahap yang dibagi kedalam 3 tingkat. Setiap tahapan dijelaskan seperti dibawah ini :
I.          Kebiasaan Memilih
Pada tingkat ini terdapat 3 tahap, yaitu :
a.       Memilih secara bebas, artinya kesempatan untuk menentukan pilihan yang menurutnya baik. Nilai yang dipaksakan tidak akan menjadi miliknya secara penuh. 
b.      Memilih dari beberapa alternatif. Artinya, untuk menentukan pilihan dari beberapa alternatif pilihan secara bebas.
c.       Memilih setelah dilakukan analisis pertimbangan konsekuensi yang akan timbul sebagai akibat pilihannya.

II.        Menghargai
Terdiri atas 2 tahap pembelajaran :
d.      Adanya perasaan senang dan bangga dengan nilai yang menjadi pilihannya, sehingga nilai tersebut akan menjadi bagian integral dari dirinya.
e.       Menegaskan nilai yang sudah menjadi bagian integral dalam dirinya didepan umum. Artinya, bila kita menganggap nilai itu suatu pilihan, maka kita akan berani dengan penuh kesadaran untuk menunjukkannya didepan orang lain.

III.     Berbuat
Terdiri atas 2 tahap, yaitu :
f.       Kemauan dan kemampuan untuk mencoba melaksanakannya.
g.      Mengulangi perilaku sesuai dengan nilai pilihannya. Artinya, nilai yang menjadi pilihan itu harus tercermin dalam kehidupan sehari – hari.

VCT menekankan bagaimana sebenarnya seseorang membangun nilai yang menurut anggapannya baik, yang pada gilirannya nilai – nilai tersebut akan mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari – hari dimasyarakat. Dalam praktik pembelajaran, VCT dikembangkan melalui proses dialog antara guru dan siswa. Proses tersebut hendaknya berlangsung dalam suasana santai dan terbuka, sehingga setiap siswa dapat mengungkapkan secara bebas perasaannya.
Beberapa hal yang harus diperhatikan guru dalam mengimplementasikan VCT melalui proses dialog, yaitu :
ð  Hindari penyampaian pesan melalui proses pemberian nasihat, yaitu memberikan pesan – pesan moral yang menurut guru dianggap baik.
ð  Jangan memaksa siswa untuk memberi respon tertentu apabila memang siswa tidak menghendakinya.
ð  Usahakan dialog dilaksanakan secara bebas dan terbuka, sehingga siswa akan mengungkapkan perasaannya secara jujur dan apa adanya.
ð  Dialog dilaksanakan kepada individu, bukan kepada kelompok kelas.
ð  Hindari respon yang dapat menyebabkan siswa terpojok, sehingga ia menjadi defensif.
ð  Tidak mendesak siswa pada pendirian tertentu.
ð  Jangan mengorek alasan siswa lebih dalam.

   E.     Kesulitan Dalam Pembelajaran Afektif.
Disamping aspek pembentukan kemampuan intelektual untuk membentuk kecerdasan peserta didik dan pembentukan keterampilan untuk mengembangkan kompetensi agar peserta didik memiliki kemampuan motorik, maka pembentukan sikap peserta didik merupakan aspek yang tidak kalah pentingnya. Proses pendidikan bukan hanya membentuk kecerdasan dan memberikan keterampilan akan tetapi juga membentuk dan mengembangkan sikap agar anak berperilaku sesuai dengan norma – norma yang berlaku dimasyarakat.Hal ini disebabkan proses pembelajaran dan pembentukan akhlak memiliki beberapa kesulitan.
Pertama, selama ini proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku cenderung diarahkan untuk pembentukan intelektual (kemampuan kognitif).
Kedua, sulitnya melakukan kontrol karena banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan sikap seseorang. Pengembangan kemampuan sikap baik melalui proses pembisaan maupun modeling bukan hanya ditentukan oleh guru, akan tetapi juga faktor – faktor lain.
Ketiga, keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa dievaluasi dengan segera. Berbeda dengan pembentukan aspek kognitif dan aspek keterampilan yang hasilnya dapat diketahui setelah proses pembelajaran berakhir, maka keberhasilan dari pembentukan sikap baru dapat dilihat pada rentang waktu yang panjang.
Keempat, pengaruh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi yang menyuguhkan aneka  pilihan program acara, berdampak pada pembentukan karakter anak. Tidak bisa kita pungkiri, program – program televisi.