Senin, 09 Juli 2012

STRATEGI PEMBELAJARAN AFEKTIF




     A.    Pendahuluan
            Dalam undang – undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 dijelaskan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Ada orang yang beranggapan bahwa sikap bukan untuk diajarkan, seperti halnya matematika, fisika, ilmu sosial, dan lain sebagainya, akan tetapi untuk dibentuk. Oleh karena itu, yang lebih tepat untuk bidang afektif bukanlah istilah pengajaran, namun pendidikan. Namun,  oleh karena strategi pembelajaran yang dibicarakan dalam naskah ini diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang bukan hanya dimensi kognitif tetapi juga dimensi yang lainnya, yaitu sikap dan keterampilan, melalui proses pembelajaran yang menekankan kepada aktivitas siswa sebagai subjek belajar, maka selanjutnya penulis menggunakan istilah strategi pembelajaran afektif, walaupun dalam bahasan selanjutnya kedua istilah itu akan digunakan secara bergantian.
Strategi pembelajaran afektif memang beda dengan strategi pembelajaran kognitif dan keterampilan. Afektif berhubungan dengan nilai (value), yang sulit diukur, oleh karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam. Dalam batasan tertentu memang afeksi dapat muncul dalam kejadian behavioral, akan tetapi penilaiannya untuk sampai pada kesimpulan yang bisa dipertanggung jawabkan membutuhkan ketelitian dan observasi yang terus menerus, dan hal ini tidaklah mudah untuk dilakukan, apalagi menilai perubahan sikap sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan guru disekolah. Kita tak bisa menyimpulkan bahwa sikap anak itu baik, misalnya dilihat dari kebiasaan berbahasa atau sopan santun yang bersangkutan, sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan guru. Mungkin sikap itu terbentuk oleh kebiasaan dalam keluarga dan lingkungan sekitar.

    B.     Hakikat Pendidikan Nilai dan Sikap
Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya tersembunyi, tidak berada didalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, indah dan tidak indah, layak dan tidak layak, adil dan tidak adil, dan lain sebagainya. Pandangan seseorang tentang semua itu tidak bisa diraba, kita hanya mungkin dapat mengetahuinya dari perilaku yang bersangkutan. Oleh karena itu lah nilai pada dasarnya standar perilaku, ukuran yang menentukan atau kriteria seseorang tentang baik dan tidak baik, indah dan tidak indah, layak dan tidak layak dan lain sebagainya, sehingga standar itu yang akan mewarnai perilaku seseorang. Dengan demikian, pendidikan nilai pada dasarnya proses penanaman nilai kepada peserta didik yang diharapkan oleh karenanya siswa dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak bertentangan dengan norma – norma yang berlaku.
Douglas Graham (Gulo, 2002) melihat empat faktor yang merupakan kepatuhan seseorang terhadap nilai tertentu, yaitu :
a.       Normativist.
Biasanya kepatuhan kepada norma – norma hukum. Selanjutnya dikatakan bahwa kepatuhan ini terdapat dalam tiga bentuk, yaitu : (1) kepatuhan kepada nilai atau norma itu sendiri, (2) kepatuhan kepada proses tanpa memperdulikan normanya sendiri, (3) kepatuhan pada hasilnya atau tujuan yang diharapkan dari peraturan itu.
b.      Integralist.
Yaitu kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dengan pertimbangan – pertimbangan yang rasional.
c.       Fenomenalist.
Yaitu kepatuhan berdasarkan kepada suara hati atau sekadar basa basi.
d.      Hedonist.
Yaitu kepatuhan kepada diri sendiri.
Selanjutnya dalam sumber yang sama  dijelaskan, dari keempat faktor ini terdapat lima tipe kepatuhan, yaitu :
a.       Otoritarian.
Suatu kepatuhan tanpa reserve atau kepatuhan yang ikut – ikutan.
b.      Conformist.
Kepatuhan tipe ini mempunyai tiga bentuk, yaitu : (1) conformist directed, (2) conformist hedonist, (3) conformist integral.
c.       Compulsive deviant.
Yaitu kepatuhan yang tidak konsisten.
d.      Hedonik psikopatik.
Yaitu kepatuhan kepada kekayaan tanpa memperhitungkan kepentingan orang lain.
e.       Supramoralist.
Yaitu kepatuhan karena keyakinan yang tinggi terhadap nilai – nilai moral.
Dalam masyarakat yang cepat berubah seperti dewasa ini, nilai bagi anak merupakan hal yang sangat penting, karena pada era global dewasa ini, anak akan dihadapkan pada banyak pilihan yang mungkin akan dianggap baik.  Komitmen seseorang terhadap nilai tertentu terjadi melalui sikap, yakni kecenderungan seseorang terhadap suatu objek. Gulo (2005) menyimpulkan tentang nilai sebagai berikut :
a.       Nilai tidak bisa diajarkan tetapi diketahui dari penampilannya.
b.      Pengembangan domain efektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif dan psikomotorik.
c.       Masalah nilai adalah masalah emosional dan karena itu dapat berubah, berkembang sehingga bisa dibina.
d.      Perkembangan nilai atau moral tidak terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap tertentu.
Pernyataan kesenangan dan ketidaksenangan seseorang terhadap objek yang dihadapinya, sangat dipengaruhi oleh tingkat pemahaman (aspek kognitif) terhadap objek tersebut, oleh karena itu, tingkat penalaran (kognitif) terhadap suatu objek dan kemampuan untuk bertindak terhadapnya (psikomotorik) turut menentukan sikap seseorang terhadap objek yang bersangkutan.
       
C.    Proses Pembentukan Sikap
1.      Pola pembiasaan.
Dalam proses pembelajaran disekolah, baik secara disadari atau tidak, guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan. Misalnya, siswa yang setiap kali menerima perlakuan yang tidak mengenakkan dari guru, misalnya mengejek atau perilaku yang menyinggung persaan anak, maka lama kelamaan akan timbul rasa benci dari anak tersebut, dan perlahan – lahan anak tersebut akan mengalihkan sikap negatif itu buka hanya kepada gurunya itu sendiri, akan tetapi kepada mata pelajaran itu sendiri.
Belajar membentuk sikap melalui pembiasaan itu juga dilakukan oleh Skinner melalui teorinya operant conditioning. Peroses pembentukkan sikap melalui pembiasaan yang dilakukan Watson berbeda dengan proses pembiasaan sikap yang dilakukan Skinner. Pembentukan sikap yang dilakukan Skinner menekankan pada proses peneguhan respon anak. Setiap kali anak menunjukkan prestasi yang baik diberikan penguatan (reinforcement) dengan cara memberikan hadiah atau perilaku yang menyenangkan. Lama – kelamaan, anak berusaha meningkatkan  sikap positifnya.

2.      Modeling
Pembelajaran sikap seseorang dapat juga dilakukan melalui proses modeling, yaitu pembentukan sikap melalui  proses asimilasi atau proses mencontoh. Salah satu karakteristik anak didik yang sedang berkembang adalah keinginannya untuk melakukan peniruan (imitasi). Hal yang ditiru itu adalah perilaku – perilaku yang diperagakan atau didemonstrasikan oleh orang yang jadi idolanya. Prinsip peniruan ini yang dimaksud modeling. Modeling adalah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau orang yang dihormatinya.

        D.    Model Strategi Pembelajaran Sikap
1.      Model Konsiderasi
Model konsiderasi (the consideration model) dikembangkan oleh Mc. Paul, seorang humanis. Paul menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan pembentukan kognitif yang rasional. Pembelajaran moral siswa menurutnya adalah pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual.
Implementasi model konsideransi guru dapat mengikuti tahapan pembelajaran  seperti dibawah ini :
a.       Menghadapkan siswa pada suatu masalah yang mengandung konflik, yang sering terjadi dalam kehidupan sehari – hari.
b.      Menyuruh siswa untuk menganalisis situasi masalah dengan melihat bukan hanya dengan tampak, tapi juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut.
c.       Menyuruh siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan yang dihadapi.
d.      Mengajak siswa untuk menganalisis respon orang lain serta membuat kategori dari setiap respon yang diberikan siswa.
e.       Mendorong siswa untuk merumuskan akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan yang diusulkan siswa.
f.       Mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari sudut pandang (interdisipliner) untuk menambah wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
g.      Mendorong siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri.

2.      Model Pengembangan Kognitif.
Model pengembangan kognitif (the cognitive development model) dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. Model ini banyak diilhami oleh pemikiran John Dewey dan Jean Piaget yang berpendapat bahwa perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang berlangsung secara berangsung – angsur menurut urutan tertentu. Menurut Kohlberg, moral manusia itu berkembang melalui 3 tingkat, dan setiap tingkat terdiri dari 2 tahap, yaitu :
a.       Tingkat Prakonvensional.
Pada tingkat ini setiap individu memandang moral berdasarkan kepentingannya sendiri. Artinya, pertimbangan moral didasarkan pada pandangannya secara individual tanpa menghiraukan rumusan dan aturan yang dibuat oleh masyarakat. Pada tingkat prakonvesional ini terdiri atas dua tahap, yaitu : tahap pertama  adalah Orientasi Hukum dan Kepatuhan dan tahap kedua Orientasi Instrumental Relatif.

b.      Tingkat Konvensional
Pada tahap ini anak mendekati masalah didasarkan pada hubungan individu masyarkat. Kesadaran dalam diri anak mulai tumbuh bahwa perilaku itu harus sesuai dengan norma – norma dan aturan yang berlaku dimasyarakat. Pada tingkatan ini mempunyai 2 tahap, yaitu : keselarasan interpersonal serta tahap sistem sosial dan kata hati.

c.       Tingkat Postkonvensional
Pada tingkat ini perilaku bukan hanya didasarkan pada kepatuhan terhadap norma – norma masyarakat yang berlaku, akan tetapi didasarkan oleh adanya kesadaran sesuai dengan nilai – nilai yang dimilikinya secara individu. Pada tingkatan ini juga terdiri dari dua tahap, yaitu : tahap kontrak sosial dan tahap prinsip etis yang universal.

3.      Teknik Mengklarifikasi Nilai
Teknik mengklarifikasi nilai (value clarification technique) atau sering disingkat VCT dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari dan menemukan sesuatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi sesuatu persoalan melalui proses  menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa.
Kelemahan yang sering terjadi dalam proses pembelajaran nilai atau sikap adalah proses pembelajaran dilakukan secara langsung oleh guru, artinya guru menanamkan nilai – nilai yang dianggap baik tanpa memerhatikan nilai yang sudah tertanam dalam diri siswa. Akibatnya, sering terjadi benturan atau komplik dalam diri siswa karena ketidak cocokan antara nilai lama yang sudah terbentuk dengan nilai baru yang ditanamkan oleh guru. Siswa sering mengalami kesulitan dalam menyelaraskan nilai lama dan nilai baru. VCT sebagai suatu model dalam strategi pembelajaran moral VCT bertujuan :
a.       Untuk mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai.
b.      Membina kesadaran siswa tentang nilai – nilai yang dimilikinya baik tingkatannya maupun sifatnya (positif dan negatif ) untuk kemudian dibina kearah peningkatan dan pembetulannya.
c.       Untuk menanamkan nilai – nilai tertentu kepada siswa melalui cara yang rasional dan diterima siswa, sehingga pada akhirnya nilai tersebut akan menjadi milik siswa.
d.      Melatih siswa sebagaimana cara menilai, menerima, serta mengambil keputusan terhadap suatu persoalan dalam hubungannya dengan kehidupannya sehari – hari dengan masyarakat.
John Jarolimek (1974) menjelaskan langkah pembelajaran dengan VCT dalam 7 tahap yang dibagi kedalam 3 tingkat. Setiap tahapan dijelaskan seperti dibawah ini :
I.          Kebiasaan Memilih
Pada tingkat ini terdapat 3 tahap, yaitu :
a.       Memilih secara bebas, artinya kesempatan untuk menentukan pilihan yang menurutnya baik. Nilai yang dipaksakan tidak akan menjadi miliknya secara penuh. 
b.      Memilih dari beberapa alternatif. Artinya, untuk menentukan pilihan dari beberapa alternatif pilihan secara bebas.
c.       Memilih setelah dilakukan analisis pertimbangan konsekuensi yang akan timbul sebagai akibat pilihannya.

II.        Menghargai
Terdiri atas 2 tahap pembelajaran :
d.      Adanya perasaan senang dan bangga dengan nilai yang menjadi pilihannya, sehingga nilai tersebut akan menjadi bagian integral dari dirinya.
e.       Menegaskan nilai yang sudah menjadi bagian integral dalam dirinya didepan umum. Artinya, bila kita menganggap nilai itu suatu pilihan, maka kita akan berani dengan penuh kesadaran untuk menunjukkannya didepan orang lain.

III.     Berbuat
Terdiri atas 2 tahap, yaitu :
f.       Kemauan dan kemampuan untuk mencoba melaksanakannya.
g.      Mengulangi perilaku sesuai dengan nilai pilihannya. Artinya, nilai yang menjadi pilihan itu harus tercermin dalam kehidupan sehari – hari.

VCT menekankan bagaimana sebenarnya seseorang membangun nilai yang menurut anggapannya baik, yang pada gilirannya nilai – nilai tersebut akan mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari – hari dimasyarakat. Dalam praktik pembelajaran, VCT dikembangkan melalui proses dialog antara guru dan siswa. Proses tersebut hendaknya berlangsung dalam suasana santai dan terbuka, sehingga setiap siswa dapat mengungkapkan secara bebas perasaannya.
Beberapa hal yang harus diperhatikan guru dalam mengimplementasikan VCT melalui proses dialog, yaitu :
ð  Hindari penyampaian pesan melalui proses pemberian nasihat, yaitu memberikan pesan – pesan moral yang menurut guru dianggap baik.
ð  Jangan memaksa siswa untuk memberi respon tertentu apabila memang siswa tidak menghendakinya.
ð  Usahakan dialog dilaksanakan secara bebas dan terbuka, sehingga siswa akan mengungkapkan perasaannya secara jujur dan apa adanya.
ð  Dialog dilaksanakan kepada individu, bukan kepada kelompok kelas.
ð  Hindari respon yang dapat menyebabkan siswa terpojok, sehingga ia menjadi defensif.
ð  Tidak mendesak siswa pada pendirian tertentu.
ð  Jangan mengorek alasan siswa lebih dalam.

   E.     Kesulitan Dalam Pembelajaran Afektif.
Disamping aspek pembentukan kemampuan intelektual untuk membentuk kecerdasan peserta didik dan pembentukan keterampilan untuk mengembangkan kompetensi agar peserta didik memiliki kemampuan motorik, maka pembentukan sikap peserta didik merupakan aspek yang tidak kalah pentingnya. Proses pendidikan bukan hanya membentuk kecerdasan dan memberikan keterampilan akan tetapi juga membentuk dan mengembangkan sikap agar anak berperilaku sesuai dengan norma – norma yang berlaku dimasyarakat.Hal ini disebabkan proses pembelajaran dan pembentukan akhlak memiliki beberapa kesulitan.
Pertama, selama ini proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku cenderung diarahkan untuk pembentukan intelektual (kemampuan kognitif).
Kedua, sulitnya melakukan kontrol karena banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan sikap seseorang. Pengembangan kemampuan sikap baik melalui proses pembisaan maupun modeling bukan hanya ditentukan oleh guru, akan tetapi juga faktor – faktor lain.
Ketiga, keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa dievaluasi dengan segera. Berbeda dengan pembentukan aspek kognitif dan aspek keterampilan yang hasilnya dapat diketahui setelah proses pembelajaran berakhir, maka keberhasilan dari pembentukan sikap baru dapat dilihat pada rentang waktu yang panjang.
Keempat, pengaruh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi yang menyuguhkan aneka  pilihan program acara, berdampak pada pembentukan karakter anak. Tidak bisa kita pungkiri, program – program televisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar